" Secanting Ikan Lebung "

- Sabtu, 07 September 2024, 01:47 PM

Cerpen By: Tirtarina Sihombing

" Bu... Ibuu!"

Asep datang berlari mendapatkan ibunya yang sedang memarut ubi didapur rumah. Dari jauh  Bu Marni sudah tahu yang datang itu pasti Asep anak sulungnya.

"Ada ikan seluang dibawa bapak  dari lebung bawah," Asep dengan gembira menunjukkan secanting ikan seluang yang masih segar.

Bu Marni segera menghentikan aktivitasnya dan mengambil wadah plastik untuk tempat ikan seluang.

Kalau musim hujan seperti ini, air sungai pasti naik, dan beberapa jam kemudian disaat air sudah mulai menyusut, maka air sungai akan menyisakan air yang tertinggal didataran yang paling rendah dan dalam dihulu sungai, dan akan membentuk suatu kubangan yang dalam yang disebut dengan lebung.

Ikan-ikan kecil  dari sungai akan terperangkap di lebung ini, dan inilah yang selalu ditunggu-tunggu warga sekitar untuk mengambil ikan di lebung.

Sudah beberapa hari ini Pak Kadir suaminya,  melakukan aktifitas seperti ini. Apabila lebung di dekat rumahnya sedang ada airnya, maka suaminya akan rajin mengumpulkan ikan-ikan kecil yang tersangkut dikubangan lebung.

Selain  menunggu dan mencari ikan di lebung, Pak Kadir juga sesekali mencari kayu bakar di sungai Batang Hari dibelakang rumahnya.

Jika arus  sungai sedang naik, maka kayu-kayu besar akan turut terbawa arus dari hulu sungai. Dan sebagian kayu besar  akan ikut terdampar di pinggiran sungai. Kayu besar inilah yang dipungut oleh Pak Kadir, untuk kemudian membelahnya sampai membentuk ukuran kecil menjadi kayu bakar.

Kayu bakar yang sudah jadi  ukuran kecil-kecil, akan dijual ke tetangganya, dan kadang ada juga dari  beberapa rumah makan yang datang langsung kerumah bedengnya ini untuk membeli.

Sekecil apapun bentuk rejeki yang didapatnya, Pak Kadir sangat mensyukuri. Hanya pekerjaan seperti itu yang dapat dilakoni Pak Kadir setiap hari.

Bu Marni juga ikut mengupayakan rejeki untuk keluarga kecil mereka. Berjualan lepat ubi, tetap diusahakan Bu Marni setiap hari. Walaupun anak bungsunya masih berusia delapan bulan, tetapi Bu Marni gigih untuk ikut mencari nafkah buat keluarga.

"Bisa ndak kau bersihkan dulu Le ikan seluangnya, ibu nak mengukus lepat ubi ini dulu sebentar!"

Bu Marni menyerahkan ikan seluang itu kembali kepada Asep untuk membersihkannya, sementara dirinya masih mengisi inti gula dan parutan kelapa ke tengah lepat ubi untuk kemudian mengukusnya lagi.

"Lumayan, setelah dibungkus jumlahnya ada empat puluh empat bungkus." Bu Marni langsung membayangkan akan menerima uang hasil penjulan lepat ubi sejumlah empat puluh ribu rupiah.

Hanya seribu rupiah perbungkus lepat ubi dijual Bu Marni. Walaupun jumlahnya ada empat puluh empat bungkus, tetapi yang empat bungkus akan dimakan juga oleh keluarganya.

"Lepat ubinya disisain satu untuk aku ya bu! Aku sangat suka memakannya,"  teriak Asep sembari membersihkan sisik ikan seluang kecil.

Kali ini Bu Marni akan langsung mendapatkan uang hasil penjualan lepat ubinya, karena kali ini adalah pesanan dari  Bu Lurah, untuk para pekerja yang sedang membangun rumahnya.

"Kalau sudah bersih, kasih garam sedikit ya Le, nanti ibu goreng selepas mengantar lepat ubi ini dulu kerumah Bu Lurah!"

Bu Marni segera tergopoh-gopoh berjalan mengantarkan pesanan lepat ubi  kerumah Bu Lurah. Anak bayinya yang nomor dua, untunglah masih tertidur dan sedang dijaga Pak Kadir suaminya.

Dan memang seperti itulah setiap hari rutinitas kehidupan mereka, dan karena Asep sebagai anak yang pertama masih berumur lima tahun, maka belum saatnya untuk bersekolah di sekolah dasar.

Sebenarnya bisa saja memang, Asep memulai sekolah ditempat sekolah taman  kanak-kanak, tetapi Bu Marni dan Pak Kadir tidak melakukannya. Karena sekolah seperti itu hanya untuk orang kaya saja, sebab  Bu Marni berpikir, keluarga mereka adalah orang pinggiran yang untuk memenuhi makan setiap hari saja selalu kembang kempis. Belum lagi penyakit sesak napas dan jantung yang diderita Pak Kadir suaminya, selalu saja menambah beban keluarga mereka.

"Puufff... , syukurlah Bu Lurah langsung memberikan uangnya, mana ditambahin banyak lagi,"

Bu Marni sungguh sangat bersyukur, karena uang yang seharusnya didapat dari penjualan lepat  ubi itu jumlahnya empat puluh ribu, ternyata ditambahin oleh Bu  Lurah menjadi seratus ribu.

"Aku bisa membeli susu tambahan untuk anak bayiku nanti, biar pertumbuhannya semakin sehat!"monolog Bu Marni

Akhirnya selesai sudah hari ini,  aktivitas mereka jalani dengan penuh rasa syukur. Tibalah saatnya istirahat sejenak berkumpul  untuk menikmati hidangan di lesehan ruang tamu mereka,  yang menyatu dengan dipan tempat tidur dekat pintu masuk depan rumah.

Nasi putih berlauk goreng ikan seluang,  dan sambal orek,  serta rebus daun ubi, menambah nikmat untuk rejeki yang diperoleh seharian ini.

"Pak, besok cari lagi ikan ke lebung ya! kalau ada ikan yang didapat kita jual saja, karena ikan goreng seluang ini masih bersisa, dan besok masih bisa kupanaskan untuk dimakan lagi."

Pak Kadir mengangguk patuh kepada Bu Marni isterinya, walaupun sebenarnya dirinya ingin beristirahat barang sehari atau dua hari.

Akhir-akhir ini, Pak Kadir sering merasakan sakit di dadanya, dan nafasnya sering sesak dan susah untuk bernafas. Memang masih ada obatnya untuk diminum  yang didapatnya dari puskesmas, tetapi harusnya dibarengi  istirahat yang cukup,  seperti kata pak dokter.

Pak Kadir tidak dapat memenuhi anjuran dari pak dokter dan petugas kesehatan untuk beristirahat yang cukup, karena setiap hari dirinya harus bekerja keras untuk menghidupi keluarga kecilnya.

Pagi kembali menyapa, gemercik air sungai Batanghari  kembali mengalun di pinggiran Danau Sipin Kota Jambi. Terasa sejuk dan adem rasanya dikala akan memulai aktivitas di pagi hari itu.

Begitu juga dengan rumah bedeng yang berdiri kokoh diatas pinggiran sungai Batanghari di Danau Sipin itu. Sejak pagi subuh sudah terlihat aktivitas dirumah kecil itu.

Bu Marni yang memarut kelapa dengan kukuran jadulnya, menambah irama musik keriuhan yang diperdengarkan di pagi hari.

Yaa, secepat mungkin Bu Marni harus segera menyelesaikan pekerjaannya, untuk mengukus  lepat  ubi yang akan dijualnya di depan gerbang sekolah dasar di ujung jalan rumahnya.

Pagi-pagi seperti ini,  tentu banyak orang tua murid yang mengantar anaknya ke sekolah. Biasanya para orangtua akan mencari jajanan sarapan untuk sekalian dibawa pulang kerumah,  atau para pegawai yang membawa ke kantor sebagai sarapan pagi.

Demikianlah pagi ini setelah usai berjualan di depan sekolah dasar tersebut, Bu Marni pun pulang dengan gembira dan membawa uang hasil dagangan lepat ubi yang sudah habis terjual. Semuanya genap sembilan puluh ribu, sama seperti jumlah lepat ubi yang dijualnya sebanyak sembilan puluh buah.

Sekarang giliran Pak Kardi yang harus meninggalkan rumah,  untuk mencari ikan di lebung dekat rumahnya. Usai sarapan dan beristirahat sebentar, maka sudah waktunya Pak Kardi harus berangkat ke lebung.

Jaring kecil yang sudah dianyamnya ke sebilah bambu menjadi modalnya untuk menangkap ikan- ikan kecil itu. Dan tak lupa ada juga dibawanya ember hitam plastik,  yang dipakainya nanti sebagai tempat menampung ikan kecil yang didapatnya.

Biasanya Asep anaknya akan selalu ikut untuk mencari ikan di lebung, namun pagi ini, anak pertamanya itu ditugaskan Bu Marni menjaga anak bayi mereka yang masih kecil. Sementara Bu Marni sendiri pagi ini akan ikut mengantri sembako gratis dari pemerintah. Kupon sembako sudah dibagikan pak RT dua hari yang lalu.

Dengan hati masygul, Pak Kadir pun berangkat sendirian menuju lebung, di pinggiran sungai Batang Hari di Danau Sipin  yang  dekat dengan rumah bedengnya.

Sebenarnya jalannya sudah mulai lunglai,  karena sesak disebelah dada kirinya sudah mulai terasa. Mungkin sudah seharusnya memang perlu istirahat, sebab dua hari yang lalu Pak Kadir ada bekerja keras,  dengan membelah kayu besar yang tersangkut di pinggiran sungai di belakang rumahnya.

Tak ingin melewatkan kesempatan itu, tentu saja Pak Kadir pun membelah kayu besar itu, untuk dijadikan potongan-potongan kecil sebagai kayu bakar.

Semenjak membelah  kayu besar kemarin itu,  maka Pak Kadir merasa selalu terasa sesak di dadanya.

Keinginan hatinya sebenarnya adalah beristirahat, tetapi keinginan Bu Marni isterinya lebih diutamakannya untuk mencari ikan kecil di lebung,  agar dapat dijual dan mereka dapat mempunyai uang sedikit demi sedikit.

"Tapi tak apalah, selepas mencari ikan di lebung ini, aku akan bisa untuk beristirahat." monolog Pak Kadir didalam hatinya.

Pagi menjelang siang hari seperti ini, cuaca masih sejuk dan belum terasa panas. Semilir angin dari sungai,  turut serta mengantarkan Pak Kadir hingga sampai di kubangan lebung.

Segera Pak Kadir mengeluarkan tangguk jaring ikannya,  untuk menangkap ikan-ikan kecil yang terperangkap di kubangan lebung sungai.

Saat ini begitu banyak ikan-ikan kecil yang masuk ke jaring yang terpasang di lebung. Ada ikan seluang dan  betok yang sudah dipindahkan Pak Kadir ke ember kecilnya.

Tiba-tiba  terlihat ada  beberapa ekor ikan patin yang lumayan sedang, terperangkap diantara bebatuan kecil didalam kubangan lebung itu. Dengan cepat Pak Kadir mengejar ikan patin itu,  dan memukul-mukul air dimana ikan itu bersembunyi,  agar masuk ke tangguk jaring yang sudah dipasang.

"Haah...haahh..."

Pak Kadir memegang dadanya yang sudah mulai sesak. Mungkin karena terlalu banyak menunduk, dan terlalu lelah menghalau ikan-ikan untuk masuk ke jaring yang di pasangnya, sehingga dadanya agak sulit untuk bernafas.

Sesaat Pak Kadir memegang dadanya yang sakit, dan mulai terlihat kesulitan untuk bernafas. Tetapi melihat ada beberapa ikan patin sudah memasuki tangguk jaringnya, akhirnya Pak Kadir mendekati jaring ikannya,  untuk menangkap ikan patin yang sudah terperangkap didalamnya.

"Dan...huupp...,"

Ikan patin itu pun berhasil ditangkap  dengan jaring ikannya, tepat disaat Pak Kadir juga sedang mengerang kesakitan memegang dada kirinya,  seraya bernafas dengan tersengal-sengal.

Brukk

Pak Kadir pun terjatuh kedalam kubangan lebung, ketika dirinya berjuang mengambil nafas satu persatu.

Ember hitam tempat  penampungan ikan betok dan seluang yang sudah dikumpulkannya dengan susah payah, juga tumpah berhamburan ke lebung sungai Batanghari.

Pak Kadir hanya bisa melihat ikan -ikan kecil itu,  seakan menari- nari didepan matanya,  dimana dirinya sedang jatuh terkapar di kubangan lebung.

"Maafkan aku, buat isteri dan anakku, sebab  aku tidak bisa membawa barang secanting pun ikan kecil ini untuk kalian!"  batin Pak Kadir didalam hati. 

Sesaat nafasnya pun mulai berhenti,  bersamaan dengan jiwanya yang sudah meninggalkan raganya.

Pak Kadir pun terperangkap didalam kubangan lebung Sungai Batanghari, yang berada dibelakang rumahnya. (TR/RED/*)


Tags

Berita Terkait

X