Penatua; Antara Idealis dan Etis, Oleh: St. Dr. Andiopenta Purba

- Rabu, 15 Januari 2025, 10:33 PM

KOTA JAMBI, SJBNEWS.CO.ID - Menjadi penatua yang memang selalu berdasarkan pada proposisi; "Banyak yang terpanggil, tetapi sedikit yang terpilih". Pernyataan ini memang benar adanya, itulah makanya menjadi sebuah proposisi, yakni sesuatu pernyataan yang tidak perlu diragukan kebenarannya.

Ya, memang tidak perlu diragukan kebenarannya, karena adalah Firman Tuhan adanya. Bukanlah kata kata dari manusia. Tetapi, fakta sosial menjelaskan kepada kita tentang hal terpanggil dan terpilih itu tidak dapat disangkal, bahwa pernyataan tentang ter panggil dan ter pilih ada kalanya dihadapan manusia, menjadi sesuatu yang kontradiksi antara dassolen dan dassein, atau yang seharusnya dengan fakta sosial atau kenyataan yang terjadi, termasuk hal tentang penatua.

Sesungguhnya banyak orang dari jemaat tertentu, dalam hati nurani dan keinginannya mau untuk dan hendak melayani. Tetapi karena berbagai faktor, ia menjadi kategori tetap hanya terpanggil, namun tidak terpilih. Padahal, hati jiwa dan pikirannya mau ingin hendak melayani. Tapi mungkin menurut dia, lain menurut Tuhan. Jika tidak terpilih, tentu itu sudah menurut Tuhan.

Inilah salah satu menjadi fenomena sosial teologis gerejawi dalam hal memilih dan menetapkan para penuai, katakanlah seorang penatua, dalam hal ini mau atau ingin menjadi pelayan, tetapi tidak terpilih karena beberapa faktor, yang sesungguhnya tidak menjadi penyebab yang fatal penghalang menjadi terpilih.

Dengan demikian, mereka tidak ada kesempatan menjadi pelayan gerejawi atau menjadi penetua. Katakanlah menjadi seorang calon penetua ataupun menjadi penetua seperti yang diharapkannya.

Akhirnya, mereka ada memilih hanya menjadi jemaat yang taat dan jemaat yang baik. Ketaatan dan kebaikan mereka mengelompokkan mereka adalah orang orang yang dapat mengendalikan diri, menguasai diri, dan bahkan menjadi orang yang tau diri.

Sebagian dari mereka, ada yang tidak dapat menahan diri dan mengendalikan diri. Mereka cenderung menjadi pengkritik, yang menurut mereka bahwa apa yang disampaikannya adalah benar adanya. Tetapi ia lupa, bahwa kebenaran yang diajukannya bulanlah tergolong sebagai proposisi, tetapi hanya menurut paradigma dia sendiri.

Semua itu hanya karena ketidakpuasannya atas ketidakterpilihannya, padahal menurut dia, yah dia terpanggil. Mereka mereka inilah yang sering dapat menjadi sandungan dalam proses pelayanan gerejawi.

Mereka akhirnya dikendalikan hawa nafsu berpikirnya yang keliru. Ingat; bukanlah sesuatu yang salah, tetapi hanya keliru.

Mereka yang betul betul terpilih, sebagian dari mereka bertahan pada idealisme positip yang tetap berdasar dan beritik tolak pada proposisi keterpilihan.

Mereka cenderung pada prinsip pokoknya selalu sesuai aturan. Terkebih jika sesuatu itu ada SOP sebagai patokan. Sikap, prinsip, dan paradigma seperti itu memang diperlukan bahkan harus ditegakkan.

Hanya saja, dalam penerapannya, sebagian orang dihadapkan pada idealisme berlebihan, yang akhirnya dalam penyampaian pandangan nya, kadang membuat orang lain menjadi tidak nyaman.

Idealisme memang diperlukan bahkan harus berdiri tegak lurus. Bahkan idealisme tidak boleh dibuat buat. Seolah olah tampak sebagai seorang yang idealis, padahal hanyalah seperti sebuah sandiwara, bahkan menjadi sebuah drama . Ada panggung depan dan ada panggung belakang, orang Batak bilang; Marpangaci, sipalecem, mamparbuat, songon bulung motung, dan berbagai perumpamaan Batak lainnya.

Sikap seperti itu jelas tidak sejalan lagi dengan prinsip keterpilihan. Bukanlah menjadi salah satu ciri orang yang sudah terpilih.

Di samping sikap idealis, ada hal yang juga sangat penting untuk diingat dan diperhatikan, yakni : "Etis". Hal ini berkaitan dengan kepantasan dan ketidakpantasan. Mana yang pantas dan mana yang tidak. Dalam menyampaikan sesuatu hal, yang juga didasari dengan sikap idealis, tentu ada caranya. Disinilah diperlukan retorika, dengan sederhana; bagaimana cara menyampaikan tentang sesuatu hal. "Bagaimana cara mengemukakan pendapat". Baik hal hal yang benar, maupun hal tidak benar.

Ketika kita menyampaikan tentang sesuatu kebenaran, maupun tentang sesuatu yang tidak benar, mari kita sampaikan dengan bahasa yang etis, yang mengandung kelembutan, yang mengandung kesopanan, dan yang mengandung keharmonisan. Sehingga, tidak menimbulkan ketidaknyamanan, yang akhirnya mengundang disharmonis.

Tuturan tuturan sinisme serta kata kata sarkasme hanyalah mengundang ketidaknyamanan, kebencian, kemarahan, sehingga memperkeruh keaadaan yang mungkin sudah keruh kian tambah diperkeruh.

Bahasa bahasa seperti itu, tentunya juga tidak sejalan dengan prinsip keterpilihan. Bahkan jelas bertolak belakang. Oleh karena itu, marilah kita biasakan menggunakan tuturan pilihan kata atau diksi yang mengandung kelembutan, kesopanan, bahkan keindahan.

Namun ingat, tidak perlu juga hingga menggunakan personifikasi serta hiperbola persuasi yang sangat berlebihan. Oleh karena itu, marilah kita belajar tentang teori idealis dan etis, agar seiring dengan prinsip keterpilihan itu, bukan hanya sekedar kata terpilih, tetapi harus lebih jauh dan mendalam dari kata terpilih, yang dimaknai melalui proses pilihan, berarti adalah terbaik.

Jadi, janganlah kiranya keterpilihan itu kita kotori dengan penempatan idealis dan etis yang keliru. Sampaikanlah idealisme dengan tuturan yang etis.

Bahasa menunjukkan bangsa, dan tuturan menunjukkan siapa kita sebenarnya. Maka sebelum mengemukakan pendapat, ingat; "Pikir itu pelita hati", dan Mulutmu adalah harimaumu", dan "Apa yang keluar dari mulutmu, dapat menjadi sesuatu yang haram". (EDITOR: REDAKSI)


Tags

Berita Terkait

X